SUNAN KALIJAGA
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
MASALAH
Riwayat masa lampau sebagai obyek studi sejarah,
berkenaan dengan peristiwa-peristiwa pada kehidupan manusia yang menyangkut
segala aspeknya. Dala penuturan sejarah, peristiwa-peristiwa tadi diurutkan kurun-kurun
waktu secara kronologis. Dari analisis sejarah tentang suatu peristiwa atau
suatu masalah, kita dapat mengadakan prediksi terhadap hal-hal tersebut pada
masa yang akan datang. Penelaahan suatu gejala atau suatu masalah dengan
menggunakan pendekatan sejarah, ini termasuk penelaahan yang dinamis, karena
memperhatikan urutan prosesnya dari waktu kewaktu.
Sejarah dapat diartikan sebagai riwayat tentang masa
lampau atau suatu bidang ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan menuturkan
riwayat masa lampau tersebut sesuai dengan dapat melepaskan diri dari kejadian
dan serta kenyataan masa sekarang yang sedang kita alami bersama dan tidak pula
kita lepaskan dari perspefktif masa depan.
Dalam pelaksanaan KKL ini yang mengambil obyek sejarah
yang terdapat di daerah Pantai Utara (Jawa Tengah) yang berusaha menyelidiki
bagaimana awal perkembangan sejarah indonesia masa islam yang ada di wilayah
tersebut. Adapun yang menjadi latar belakang diadakannya penelitian terhadap
peninggalan-peninggalan bersejarah tersebut adalah untuk mengkaji bagaimana
sistem kepemimpinan tokoh-tokoh pergerakan dalam usaha memajukan kehidupan
islam dalam lingkup wilayah di sekitarnya. Usaha mengembangkan ajaran islam
dengan menggunakan sarana yang ada (yang masih mendapat pengaruh Hindu-Budha).
Sehingga tercipta unsur-unsur budaya yang baru, karena adanya percampuran
dengan unsur-unsur yang berbau islam.
Kalau di lihat dari beberapa permasalahan yang kita
teliti, maka dapat di simpulkan bahwa perkembangan peradaban masa lalu
merupakan perpaduan antara Hindu-Budha dengan Islam, yng membawa akibat adanya
Versi baru dalam hal kehidupan keagamaan dan budaya masyarakat sekarang ini.
Hal ini sejalan dengan konsep sejarah, yaitu adanya kemajuan dalam menganalisis
suatu peristiwa dengan tanpa meninggalkan analisis peristiwa masa lampau.
Perkembangan dakwah islam dewasa ini bukan saja
memerlukan kuantitas para Da’i ataupun kuantitas lembaga-lembaga dakwah yang
mengorganisir dan mencetak para Da’i melainkan harus dilengkapi oeh beberapa
syarat atau faktor-faktor lain. Perjalanan dakwah islamiyah di tanah air kita
harus terus dikembangkan, karena merupakan tugas suci bagi setiap muslim yang
cinta akan agamanya. Demi keberhasilannya dalam berdakwah harus ditunjang dalam
berbagai syarat, diantaranya adalah adanya metode dakwah yang sempurna. Dalam
rangka inilah kelompok kami mencoba mengetengahkan sekelumit sejarah tentang
sistem dakwah yang digunakan Sunan Kalijaga yang telah berhasil merintis
jalannya dakwah di pulau Jawa. Sehingga beliau berhasil mengembangkan ajaran
Islam dan memperoleh umat yang begitu banyak, khususnya di pulau Jawa.
Dalam rangka mengatasi masalah yang tidak sesuai dengan
metode dakwah dan kelangkaan metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat dewasa ini. Maka alangkah baiknya kalau kita mau mengkaji kembali
metode dakwah yang pernah dilakukan oleh para ulama dan mubaligh-mubaligh kita
di masa yang silam.
Maka dari itu kelompok kami ingin mencoba meninjau
kembali sejarah dakwah yang pernah dilakukan oleh para Wali Sanga khususnya
yang digunakan oleh Sunan Kalijaga yang sangat berhasil dalam berdakwah
mengislamkan masyarakat Jawa pada khususnya dan rakyat pada umumnya.
Dalam usaha mengkaji kembali mengenai sistem dakwah Islam
yang pernah sukses dilakukan oleh para Ulama kita terdahulu. Maka kelompok kami
bertekad dengan penuh keyakinan untuk menyusun sebuah laporan penelitian yang
berjudul : “SEJARAH PERJUANGAN SUNAN KALIJAGA DALAM ISLAMISASI DI JAWA”. Hal
ini didasarkan pada penelitian langsung ke lokasi dan berdasarkan referensi
yang benar-benar yang dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya.
Keberhasilan Sunan Kailijaga dalam dakwah islamiyah dalam
hal mengislamkan masyarakat dapat kita pakai sebagai acuan dalam mengembangkan
ajaran Islam bagi generasi berikutnya.
BAB II
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN SUNAN KALIJAGA
A. Tentang kehidupan
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga
adalah gelar yang diberikan kepada Raden Mas Syahid, beliau putra dari
Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban. Tumenggung Wilatikta adalah keturunan
Ranggalawe yang sudah beragama Islam dan berganti nama Raden Sahur. Ibunya
bernama Dewi Nawangrum dan Raden Sahid ini menikah dengan Dewi Sarah binti
Maulana Ishak dan berputra tiga orang yaitu: Raden Umar Said atau Sunan Muria,
Dewi Rukoyah dan Dewi Sofiah. Beliau lahir dari kalangan keluarga bangsawan
asli di Istana Tumenggung Ario Tejo alias Adipati Wilwatikto di Tuban, ia di
didik dalam bidang pemerintahan dan kemiliteran, khususnya di bidang Angkatan
laut, ia juga ahli dibidang pembutan kapal laut yang dibuat dari kayu jati,
yang nama mudanya atau nama kecil adalah Raden Mas Syahid atau Jaka said. Raden
Sahid sewaktu kecil sudah mempunyai rasa solidaritas yang tinggi pada
kawan-kawannya, ia bahkan tak segan-segan masuk dan bergaul kedalam lingkungan
rakyat jelata. Ketika itulah ia tidak tahan lagi melihat penderitaan
orang-orang miskin pedesaan. Maka pada waktu malam-malam, ia sering mengambili
sumber bahan makanan dari gudang Kadipaten dan memberikannya kepada
rakyat-rakyat miskin.
Lama-lama
tindakan Raden Sahid itu diketahui oleh ayahnya, maka ia mendapatkan hukuman
yang keras, yakni diusir dari istana. Ia akhirnya mengembara tanpa tujuan yang
pasti. Dan kemudia ia menetap di hutan Jatiwangi. Dihutan itu ia meneruskan
pekerjaannya sebagai berandal. Ia merampok orang-orang kaya yang pelit kepada
rakyat kecil. Hasil rapokannya diberikan kepada rakyat-rakyat miskin.[1]
Dalam babad
Cerbon naskah Nr.36 koleksi Brandes, dijumpai keterangan bahwa
ayahanda Sunan kalijaga bernama Arya Sidik dijuluki Arya Ing Tuban, Arya Sadik
dipastikan merupakan perubahan dari nama Arya Sidik, dan nama ini merupakan
nama asli dari Ayahanda Sunan kalijaga yang menurut Babad Tuban bukan seorang
pribumi Jawa, melainkan berasal dari kalangan masyarakat Arab dan merupakan
seorang Ulama.
Tahun kelahiran
serta wafat Sunan Kalijaga belum dapat dipastikan, hanya diperkirakan ia
mencapai Usia lanjut. Diperkirakan ia lahir kurang lebih 1450 M berdasarkan
atas suatu sumber yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga kawin dengan putri Sunan
Ampel pada usia kurang lebih 20 tahun, yakni tahun 1470. Sedangkan Sunan Ampel
lahir pada tahun 1401 dan mempunyai anak wanita yang dikawini oleh sunan
kalijaga itu pada waktu ia berusia 50 tahun. Masa hidupnya menglami 3 masa
pemerintahan yaitu: masa akhir Majapahit, Zaman Kesultanan Demak dan Kesultanan
Pajang. Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478 M, kemudian disusul
Kesultanan Demak berdiri pada tahun 1481 sampai 1546 M, dan disusul pula
Kesultanan Pajang yang diperkirakan berakhir pada tahun 1568 M. Diperkirakan,
pada tahun 1580 M Sunan Kalijaga wafat hal ini dapat dihubungkan dengan gelar
kepala Perdikan Kadilangu semula adalah sunan Hadi, tetapi pada mas Jolang di
Mataram(1601-1603), gelar itu diganti dengan sebutan Panembahan Hadi. Dengan
demikian, Sunan Kalijaga sudah diganti putranya sebagai kepala Perdikan
kadilangu sebelum zaman Mas Jolang yaitu sejak berdirinya kesultanan Mataram
pemerintahan Panembahan Senopati atau sutawijaya(1673-1601). Dan pada awal
pemerintahan Mataram, menurut Babad Tanah jawi versi Meisma, dinyatakan Sunan
kalijaga pernah datang ketempat kediaman Panembahan Senopati di Mataram
memberikan saran bagaimana cara membangun kota. Dengan demikian Sunan Kalijaga
diperkirakan hidup lebih dari 100 tahun lamanya yakni sejak pertengahan Abad
ke-15 sampai dengan akhir Abad ke-16.
Tentang
asal-usul keturunannya, ada beberapa pendapat, ada yang menyatakan keturunan
Arab asli, yang lain menyatakan keturunan Cina dan ada pula yang mengatakan
keturunan Jawa asli. Masing-masing pendapat mempunyai sumber yang berbeda.[2]
B. Masa Remaja/Muda
Sunan Kalijaga
Kisah masa muda
Raden Sahid ini paling tidak ada Dua Versi, yaitu Versi pertama ialah yang
menganggap pada dasarnya walaupun raden Sahid suka mencuri dan merampok tapi
bukan untuk dinikmati sendiri, melainkan untuk dibagikan kepada rakyat jelata.
Sedangkan Versi yang kedua adalah yang benar-benar melihat bahwa masa muda
Raden Sahid adalah benar-benar perampok dan pembunuh yang jahat.
Menurut Versi
pertama lengkapnya adalah demikian, bahwasannya pada waktu masih kecil Raden
Sahid sudah disuruh mempelajari agama islam oleh ayahnya di Tuban, akan tetapi
karena ia melihat kondisi lingkungan yang kontradiksi dengan ajaran agama itu,
maka jiwa Raden Sahid memberontak. Ia melihat rakyat jelata yang hidupnya
sengsara, sementara bangsawan Tuban berfoya-foya hidupnya. Pejabat Kadipaten
manarik upeti kepada rakyat miskin dengan semena-mena, pada prajurit kadipaten
sewenang-wenang menghardik rakyat kecil. Oleh karena itu, Raden Syahid sangat
gelisah hatinya.
Sedangkan Versi
kedua melihat bahwa Raden Syahid merupakan orang yang nakal sejak kecil dan
kemudian berkembang menjadi penjahat yang sadis. Ia suka merampok dan membunuh
tanpa segan dan ia berjudi kemana-mana. Setiap habis Botohnya ia merampok
kepada penduduk. Selain itu digambarkan Raden Sahid adalah orang yang sangat
sakti, karena saktinya sehingga beliau mendapat julukan berandal Lokajaya.[3]
Tentang kisah
putra Ki Tumenggung Wilatikta yang bernama Raden Sahid yang gemar berjudi dan
melakukan kejahatan, bermain dadu, kartu, dan taruhan. Ia juga suka menyambung
ayam dan mengembara sampai ke Jepara. Kalau kalah main, ia pun menyamun, Raden
Shayid menghadang orang yang lewat dijalan dihutan yang disebut Jati Sekar
sebelah timur laut Lasem. Tersebutlah Sunan Bonang sedang berjalan kaki dari
Malang melewati hutan Jati Sekae dan berjumpa dengan Jaka Syaid. Sunan Bonang
pun menegur dengan halus, “siapakah kau ini? Mengapa menghadang orang lewat?”
dengan keras Raden Syaid menjawab, “aku sedang bekerja, pekerjaan ku ialah
menyamun.” Sunan Bonang berkata lembut, “ tunggu besok pagi. Kalau ada yang
lewat disini mengenakan pakaian hitam dengan sumping bunga wora-wari merah di
telinganya, samunlah dia.”
Jaka Syahid pun
menuruti Sunan Bonang. Setelah tiga malam, raden Syahid menghadang di jalan ,
Sunan Bonang yang sudah berbusana serba hitam dan bersumpingkan bunga wora-wari
merah berjalan melewati tempat Jaga Syahid berdiri mengahadang. Ia segera
menghadang, Jaka Said pun menghalangi Sunan Bonang yang sedang lewat itu dari
segala penjuru. Sunan Bonang pun berubah menjadi empat orang. Jaka Syahid
melihat ke arah utara, timur, selatan, dan barat, dimanapun tampak olehnya
Sunan Bonang. Segera ia duduk dan dengan takjim menghormat, menyatakan sudah
bertobat.
Sunan Bonang
berkata lembut,” Jika kau benar-benar menurut kepadaku, bergurulah dengan
sungguh-sungguh, patuhilah kata-kataku. Ini tombak pendekku dan jagalah
baik-baik. Jangan pergi dari tempat ini sama sekali.” Raden Syahid
menyanggupinya sambil menghormat takjim, lalu Sunan Bonang pergi
meninggalkannya. Raden Syahid tetap memegang tombak kecil itu.[4]
Sesudah satu
tahun berlalu, datanglah Sunan bonang kesana, menengok Raden Syahid namun
tempatnya kini sudah berubah menjadi hutan belukar. Sunan Bonang mengucapkan
sesuatu, dan dalam sekejap musnahlah hutan itu, sehingga tampaklah sang Raden
masih tetap disana. Yang terlihat hanya degup jantung didadanya. Ia
ditinggalkan saja oleh Sunan Bonang selam satu tahun lagi. Raden Syahid bertapa
selama dua tahun disana. Oleh sunan ia disuruh pergi dari situ dan dibekalinya
dengan ilmu dan cara-cara berbakti kepada Allah SWT.
Selanjutnya
Sang Raden menjalankan tapa dengan mengasingkan diri di tempat sunyi satu tahun
lamanya. Selesai menjalankan tapa itu Raden Syahid pergi ke arah Barat menuju
Cirebon, disana ia bermukim di tempat yang sepi, dan selanjutnya ia disebut
Kalijaga. Ia punya dua sahabat dan semakin kuat bertapa. Malam hari ia jaga di
tepi sungai, kalau mengantuk ia terjun ke air menghanyutkan diri mengikuti
arus, dengan memegangi api dari seludang kelapa kering. Berkat kekuatan
tapanya, api yang terbenam di air tidak padam. Ia pun berhenti menghanyutkan
dirinya. Rden Syahid kini menjadi sakti dan dikenal sebagai Kalijaga. Ketika
berada di Cirebon ia menyamar dan bekerja sebagai Merbot, pekerjaannya ialah
menimba dan menagambil air, mengisi bak air yang kosong. Setiap kali airnya
habis, segera dipenuhinya lagi olehnya, sehingga orang menyangka ia benar-benar
seorang merbot. Tersebutlah pada waktu itu Sunan dari Gunung Jati, yang
memerintah yang dari Cirebon, memperhatikan cara Kimerbot mengambil air.
Timbullah rasa belas kasihan dalam hati Sunan menyaksikan Merbotnya. Ketika
malam tiba bak air itu dikeringkannya, lalu diisinya dengan mas. Pagi-pagi
sekali Sunan Kalijaga bangun, segera pergi mengambil air. Seusai menimba tutup
bak air itu dibukanya, dilihatnya bak itu penuh berisi mas. Sunan Kalijaga
dapat menangkap maksudnya, dan cepat-cepat ia menjadikan mas itu sebagai alas
bak air. Bak itu sudah penuh air ketika Sunan gunung Jati bergegas menjalankan
Sholat Subuh ketika berwudhu dilihatnya alas bak air itu berupa mas, sehingga
Sunan gunung Jati tidak ragu lagi bahwa ternyata Sunan Kalijaga telah menyamar
sebagai Merbot. Ia kemudian menjadi ipar, dikawinkan dengan adik kandung Sunan
Gunung Jati.[5]
Sewaktu masih
usia muda, Raden Sahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sunan
Kalijaga itu tergolong muda yang cerdas, terampil, pemberani dan berjiwa besar,
usia mudanya tidak disia-siakan begitu saja, tetapi benar-benar dipergunakan
untuk membesarkan dirinya meskipun tanpa bekal dari kedua orangtuanya. Beliau
selalu berburu ilu kepada para sesepuh, seperti kepada Sunan Ampel, Sunan
Bonang, dan bahkan dari timur terus lari kebarat berguru kepada Syekh Syarif
Hidayatullah Cerebon. Ilmu-ilmu yang diambil dari Gurunya diantara lain ialah
ilmu hakekat, ilmu Syariah, ilmu Kanuragan, ilmu filsafat, ilmu kesenian dan
lain sebagainya. Sehingga beliau dikenal masyarakat pada saat itu sebagai
seoarang ahli tauhid, yang mahir dalam ilmu syariat dan mampu menguasai ilmu
srtategi perjuangan juga seorang Filosofi. Bahkan ahli pula dibidang sastra
sehingga terkenal juga sebagai seorang pujangga, karena syair-ayairnya yang
indah terutama syair-syair jawa.
Lantaran
ilmu-ilmu dan kemampuan pribadi yang dimiliki itu, akhirnya sunan kalijaga
teramasuk salah satu seorang anggota kelompoK “WaliSanga” atau “Wali Sembilan”
yang bergerak dibawah pengaturan kekuasaan Sultan Patah di Demak, belia
ditugaskan oleh kelompok Wali Sanga ini untuk menggarap masyarakat didaerah-daerah
pedalaman yang kondisinya yang sangat rawan, karena perilaku kehidupan mereka
yang sangat tidak terpuji, misalnya didaerah yang sering terjadi pencurian dan
pembunuhan, didaerah masyarakatnya suka berjudi, meminum minuman keras dan lain
sebagainya.
C. Jasa-jasa Sunan
Kalijaga
Sunan kalijaga adalah termasuk salah seorang dari
kalangan Walisanga yang tergolong muda saat itu, lagipula paling berat
tugasnya. Maka apabila Sejarah beliau diteliti sesungguhnya tidak sedikit
jasa-jasanya Beliau dikenal dengan Mubaligh. Ahli Seni, Budayawan, ahli
filsafat, sebagai dalang dalam wayang kulit dan sebagainya.
a. Sebagai Mubaligh
Beliau dikenal
sebagai Ulama besar, seorang wali yang memiliki Kharisma tersendiri diantara
Wali-wali yang lainnya. Dan paling terkenal dikalangan atas maupun dari
kalangan bawah. Hal ini disebebkan Sunan Kalijaga berkeliling dalam berdakwah,
sehingga beliau dikenal sebagai Syekh Malaya yaitu Mubaligh yang menyiarkan
Agama Islam sambil mengembara. Caranya berdakwah sangat luwes rakyat Jawa yang
pada waktu itu masih banyak menganut kepercayaan lama tidak ditentang Adat
Istiadat. Beliau mendekati rakyat yang masih awam itu dengan cara halus, bahkan
dalam berpakaian beliau tidak memakai Jubah sehingga rakyat tidak merasa angker
dan mau menerima kedatagannya dengan senang hati. Pakaian yang dikenakan
sehari-hari adalah pakaian adat Jawa yang di desain dan disempurnakan sendiri
secara Islami adat istiadat rakyat. Dalam pandangan kaum Putihan dianggap Bid’ah
tidak langsung ditentang olehnya selaku pemimpin kaum abangan. Pendiriannya
adalah rakyat dibuat senang dulu, direbut simpatinya sehingga mau menerima
Agama Islam, mau mendekat kepada para Wali. Sesudah itu barulah mereka diberi
pengertian Islam yang sesungguhnya dan dianjurkan membuang adat yang
bertentangan dengan Agama Islam.
Kesenian rakyat
baik yang berupa Gamelan, Gending dan tembang-tembang serta Wayang yang
dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai alat dakwah. Dan ini ternyata membawa
keberhasilan yang gemilang, hampir seluruh rakyat Jawa pada waktu itu dapat
menerima ajakan Sunan Kalijaga untuk mengenal Agama Islam.
b. Sunan Kalijaga
ahli dalam bidang Strategi Perjuangan
Seperti
diketahui bahwa Walisanga didalam menyebarkan Agama Islam ditanah Jawa ini
tidak begitu saja melangkah, melainkan mereka menggunakan cara-cara dan jalan
atau Strategi yang diperhitungkan benar-benar, memakai
pertimbangan-pertimbangan yang matang, tidak asal-asalan sehingga Agama Islam
disampaikan kepada rakyat dapat diterima dengan mudah dan penuh kesadaran,
bukan karena terpaksa.
Sunan Kalijaga
didalam menyebarkan Ajaran-ajaran Agama Islam benar-benar memahami dan
mengetahui keadaan rakyat yang masih kental dipengaruhi kepercayaan Agama
Hindu-Budha dan gemar menampilakan budaya-budaya Jawa yang berbau kepercayaan
itu. Maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang demikian itu, sehingga
taktik dan Strategi perjuangan beliau disesuaikan pula dengan keadaan Ruang dan
Waktu.
c. Bidang Kesenian
Sunan Kalijaga
ternyata mampu menciptakan kesenian dengan berbagai bentuknya. Maksud utama
kesenian itu diciptakan adalah sebagai alat dalam bertabligh mengelilingi
berbagai daerah yang ternyata justru mempunyai nilai sejarah yang berharga bagi
Bangsa Indonesia. Kesenian yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga tersebut berupa”
Wayang” lengkap dengan Gamelannya.
Serta masih
banyak yang diciptakan Sunan Kalijaga dibidang seni termasuk seni lukis dan
sebagainya. Dari sinilah maka sunan Kalijaga kemudian terkenal dikalangan
masyarakat Jawa sampai sekarang sebagai seorang ahli Seni. Dilain pihak Sunan
Kalijaga juga mencipatakan cerita-cerita pewayangan yang kemudian dikumpulkan
dalam kitab-kitab cerita wayang dan sampai sekarang masih ada.
d. Bidang lain-lain
Disamping
jasa-jasa beliau tadi, maka masih ada juga jasa-jasa yang lain, seperti
pendirian Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan ikut serta
membangun Mesjid bersejarah itu dan hasil karya beliau yang sangat terkenal
sampai sekarang yaitu “Soko Tatal” artinya tiang kokoh dalam Masjid Agung Demak
yang terbuat potongan-potongan Kayu Jati, lalu disatukan dalam bentuk tiang
yang berdiameter kurang lebih 70 Cm.[6]
BAB III
PERANAN SUNAN KALIJAGA DALAM PROSES ISLAMISASI NUSANTARA
A. Proses masuknya
Sunan Kalijaga Menjadi Walisanga
Menurut sumber naskah
Sejarah yang manapun Sunan Kalijaga disebut sebagai salah satu Waliyullah yang
terasuk dalam Walisanga. Kedudukannya sebagai seorang Wali, menurut Babad
Majapahit dan para Wali, dikukuhkan dihadapan Sunan Giri yang dianggap
sebagai ketua para Wali di Jawa. Dengan demikian, penetapan sebagai Wali itu
sesuai dengan ramalan semula semenjak Sunan Bonang di utus oleh ayahnya, Sunan
Ampel Denta untuk mencari dan mempertobatkan Sunan Kalijaga sebagai upaya
mempercepat proses kearah kedudukannya sebagai wali.
Sebagai
Waliyullah, sebagaimana pengertian Waliyullah adalah” kekasih Allah”. Oleh
karena itu, sebagaimana lazimnya para Wali, Sunan Kalijaga memiliki” Karamah”
pemberian dari Allah berupa keunggulan lahir dan batin yang tidak bisa dimiliki
oleh sembarang orang. Disamping itu, sebagai tanda kewalian, ia bergelar”
Sunan” sebagaimana Wali-wali yang lain. Menurut salah satu penafsiran, kata
“Sunnat” yang berarti tingkah laku, Adat kebiasaan. Adapaun tingkah laku yang
dimaksud adalah yang serba baik, sopan santun, budi luhur, hidup yang serba
kebajikan menurut tuntunan Agama Islam. Oleh karena itu, seorang Sunan akan
senantiasa menampilkan perilaku yang serba berkebajikan sesuai dengan tugas
mereka berdakwah, Beramar Ma’ruf Nahi Munkar, memerintah
atau mengajak kearah kebaikan dan melarang perbuatan Munkar.
Peran Sunan
kalijaga dalam berdakwah tampak dalam berbagai kegiatan, baik kegiatan Agama
secara langsung ataupun dalam pemerintahan dan kegiatan seni, budaya pada
umumnya, diantara kasus kegiatan yang berkenaan dengan keagamaan, sebagaimana
banyak disebut dalam naskah Babad, adalah kegiatan Sunan Kalijaga bersama-sama
Wali yang lain mendirikan Masjid Agung Demak. Sudah jelas bahwa fungsi masjid
disamping menjadi sarana Peribadatan juga dipakai sebagai pusat kegiatan Dakwah
ketika itu sehingga perlu adanya, kendati pun sulit untuk menentukan secara
pasti kapan masjid tersebut didirikan.
Masjid Agung
Demak yang terkenal, tidak saja karena ini dibangun oleh Wali, tetapi karena
salah satu Saka gurunya terdiri dari serpihan kayu-kayu Tatal karya dari sunan
Kalijaga yang dikenal dengan sebutan” Soko Tatal”. Keikutsertaan Sunan Kalijaga
tidak hanya mengupayakan bahan-bahannya saja, tetapi juga ikut bermusyawarah
sebelumnya.
Dituturkan
dalam salah satu sumber bahwa pembangunan Masjid Demak berjalan lancar,
masing-masing Wali mendapatkan tugas membawa empat tiang besar, yaitu Sunan
Giri, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan kalijaga, Sunan Kudus, Sunan purwaganda,
Sunan Gunung Jati, Pangeran Palembang dan Syekh Siti Jenar. Hanya Sunan
Kalijaga sendirilah yang membawa tiga buah. Jumlah semuanya 83 kurang 1,
tatkala semuanya sudah siap dan waktu mendirikan asjid tinggal satu hari,
sementara Saka Guru kurang satu, maka Sunan Bonang menanyakan kepada Sunan
kalijaga akan tugasnya menyiapkan tiang Saka Guru itu. Sunan Kalijaga
menyanggupinya, malam-malam menunggui orang mengapak kulit bagian luar,
disusun, dilekatkan dengan lem Damar, Kemenyan, Blendok, Trembalok lantas
dibalut. Jadilah sebuah tiang dari Tatal.
Adanya Soko
Tatal ini adalah suatu kesengajaan, sebagai lambang kerohanian, bahwa pembuatan
Soko Tatal sebagai lambang kerukunan dan kesatuan. Konon sewaktu mendirikan
Masjid Agung Demak masyarakat Islam ditimpa perpecahan antar Golongan, bahkan
dalam bekerja mendirikan Masjid itu pun terjadi perselisihan-perselisihan
berbagai masalah sepele dan kecil. Suna Kalijaga mendapat ilham, suatu petunjuk
dari Tuhan dan disusunlah Tatal-tatal menjadi sebuah tiang
yang kokoh.
Kasus lain juga
bersamaan para wali yang lain adalah upaya memberantas ajaran aqidah yang tidak
benar ataupun sesat yakni, ajaran phanteisme yang disebarkan oleh salah seorang
yang sebenarnya semula termasuk dalam kelompok Wali yaitu Syekh Siti Jenar.
Dalam serat kandaning ringgit purwa maupun babad tanah
jawi dituturkan bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati dihadapan sidang
pengadilan para wali, termasuk Sunan Kalijaga. Hukum itu dijatuhkan kepada
Syekh Siti Jenar oleh karena pengakuannya bahwa dirinya
adalah Allah. Ajaran tentang ketuhanan yang bersifat phanteisme
dipandang sangat membahayakan karena mengakibatkan masyarakat Islam ketika itu
meninggalkan syara. Paham itu disebut juga paham Wahdatul wujud
manunggaling kawula Gusti.
Dengan kasus
hukumam mati terhadap Syekh Siti Jenar tersebut, Sunan kalijaga bersama wali
lainnya tidak kompromi dengan keyakinan yang memang sangat membahayakan,
meskipun pendekatan yang dipakai para wali dalam berdakwah juga dengan
menggunakan pendekatan sufistik, tetapi sufisme yang dianut oleh Kalijaga
bukanlah sufisme yang beraliran phanteisme, tetapi sufisme yang tetap
menganut Aqidah Ahlussunnah Waljamaah. [7]
Sebenarnya
pandangan Sunan Kalijaga jika dibandingkan dengan pandangan Sunan Ampel maupun
Sunan Giri terhadap tersisa-sisa keyakinan agama lama itu lebih toleran, dalam
arti tidak mau memberantasnya seketika. Sunan Kalijaga berpendirian, bahwa
rakyat akan lari begitu dihantam dan diserang oleh pendiriannya. Dakwah harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Adat istiadat rakyat jangan terus
diberantas, tetapi hendaknya dipelihara dan dihormati sebagai suatu kenyataan.
Adapun cara merubahnya adalah sedikit demi sedikit, memberi warna yang baru
kepada yang lama, mengikuti sambil mempengaruhi yang nanti diharapkan bila
rakyat telah mengerti dan paham akan agama akhirnya mereka akan membuang
sendiri mana yang tidak perlu dan merombak atau menghilangkan sendiri mana yang
tidak sesuai dengan agama. Para wali sebaiknya bertindak mengikuti dari
belakang sambil mempengaruhi atau mengikuti kebudayaan lama sambil mengisi jiwa
islam.
Sikap seperti
itu terlihat pada berbagai karyanya yang kalu dilihat dari kaca mata kebudayaan
cenderung mengarah pada akulturasi antara kebudayaan lama dengan kebudayaan
yang baru, hasil kreasinya kearah yang lebih islami. Sementara itu, kalau
dilihat dari segi aqidah Sunan Kalijaga cenderung pada sinkretisme. Sebagai
contoh pendirian seperti itu tampak salah satunya pada penciptaan lambang
gambar bulus di Mihrab Masjid Agung Demak yang bisa dipandang
sebagai hasil karyanya, sebagaimana ide pembuatan soko tatal. Bulus adalah
binatang yang hidup di dua alam di daratan dan di air, dan menurut masyarakat
Islam hukumnya haram, tetapi mengapa ditempatkan pada mihrab Masjid
yang justru tempat suci bagi orang islam. Ternyata itu juga merupakan suatu
bentuk kebijaksanaan berdakwah ketika itu dimana pemeluk agama lama diingatkan
bahwa didalam Masjid juga ada suatu lambang kesucian dan keabadian, sebagaimana
kepercayaan agama lama (budha) memandang bulus sebagai binatang suci. Hanya
saja kesucian dan keabadian dalam islam diperoleh dengan cara melaksanakan
shalat berbakti kepada Allah yang Maha Esa, biar hidup abadi di alam Baqa nanti
dengan bahagia.
Dalam media
dakwah yang lain juga tampak sikap Sunan Kalijaga yang demikian itu, baik dalam
penciptaan, seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan , termasuk juga
kesenian wayang. Bahkan terhadap kesenian wayang ini Sunan Kalijaga dipandamg
sebagai tokoh yang telah menghasilkan kreasi baru, yaitu dengan adanya wayang
kulit dengan segala perangkan gamelannya. Wayang kulit ini merupakan
pengembangan baru dari Wayang Beber yang memang sudah ada sejak Zaman Erlangga.
Di antara Wayang ciptaan Sunan Kalijaga bersama Sunan Bonang dan Sunan Giri
adalah Wayang punah kawan pandawa yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng dan
Bagong. [8]
B. Metode Dakwah
Sunan Kalijaga
Cara-cara atau
jalan yang ditepuh oleh Sunan Kalijaga khususnya dalam menyampaikan Ajaran
Islam kepada rakyat ditanah Jawa Antara lain ialah:
· Ajaran Agama Islam
itu diperkenalkan kepada rakyat dengan cara
menyampaikan sedikiti demi sedikit agar mereka tidak
kaget atau tidak menolak. Dihindarkan cara- cara yang dapat
menyinggung perasaan atau jiwa mereka yang sudah lama
menganut kepercayaan-kepercayaan agama Hindu,
Budha dan lainnya.
· Apabila
memungkinkan ajaran-ajaran Agama Islam itu dikawinkan
dengan kepercayaan Agama Hindu dan Budha, sehingga rakyat
tidak terasa bahwa dirinya telah merubah
kepercayaan lamanya atau dengan Ajaran agama Islam.
· Adat-istiadat atau
kebudayaan yang selama ini mereka hidupakan sesuai dengan
ajaran Agama Hindu, Budha atau
kepercayaan nenek moyang yang ditingalkan kepada mereka, lalu
oleh para Wali Sanga khususnya Sunan Kalijaga Adat-istiadat
atau kebudayaan itu secara pelan-pelan
diganti dengan bentuk upacara-upacara Tradisional yang
berbau ajaran Islam. Jadi para Wali( Sunan kalijaga) tidak begitu
saja memberantas adat Istiadat mereka dengan cara kasar yang dapat
menimbulkan sikap Antipati terhadap ajaran Agama
Islam.
Ki Siswoharsoyo
dalam Serat Guna cara Agama mengatakan bahwa Sunan Kalijaga,
dalam kaitannya dengan kebudhaan dan keislaman pernah mengajukan usul pada
rapat para Wali. Isi usul antara lain sebagai berikut: Usaha untuk merubah
kuatnya pendirian rakyat yang masih tebal kepercayaan terhadap Agama Budha,
agar supaya mau memeluk Agama Islam, harus diusahakan dengan cara yang begitu
rupa, sehingga hatinya tetap senang dan terbuka. Cara-cara usaha yang baik yang
disukai oleh rakyat itu, harus seiring dengan tata cara rakyat banyak, yang
bertalian dengan kepercayaan Agama mereka yang lama (Budha). Ajaran keislaman
yang disampaikan kepada rakyat harus di berikan sedikit demi sedikit sehingga
mereka merasa gampang dan ringan mengamalkan ajaran Agama islam. Mengamalkan
Rukun islam yang ke-5 walaupun baru Syariat namanya tetapi bagi orang yang baru
mendengar sudah merasa berat. Kalau dipaksa harus mengamalkan seluruhnya, malah
menyebabkan orang itu enggan masuk Islam. Oleh karena itu seyogyanya dimulai
dengan membaca kalimat shyahadat dulu, asal sudah mau mengucapkan dan disertai
dengan rasa Ikhlas hati, sudah bisa dinamakan masuk Islam.
Adapun tata
cara ayang menjadi kepercayaan Agama lama yang harus dirubah menurut Sunan
Kalijaga ada 3 hal:
ü Bab Samadi, sebagai puji mengheningkan cipta itu
mengandung maksud untuk mencari Sasmita dan berita batin mengenai hal-hal yang sudah
lewat dan yang akan datang, itu harus diusahakan agar berubah menjadi Sholat
wajib.
ü Bab Sesaji dan
Kekutug atau membakar kemenyan, itu dengan maksud menyajikan kebaktian kepada
lelembut, yakni mahkluk-mahkluk halus yang Ghaib seperti Jin dan Syetan agar
membantu maksud serta keinginannya, dan terutama jangan hendaknya menggoda dan
menggagu raktyat setempat. Hal ini sedikit demi sedikit harus diubah sehinga
menjadi tata cara pemberian sedekah kepada Fakir miskin, tetangga dekatnya,
sanak keluarga, famili, dan sebagainya.
ü Bab Keramaian upacara tradisi keagamaan, pemeluk Agama
yang lama jika mengadakan peralatan perkawinan, yang kaya membuat keramaian
meniru dewa yang dianutnya, misalnya:
a. Upacara atau
hiasan tumbuh-tumbuhan serta kembar mayang yang diatur sebagai Hiasan dalam
upacara perkawinan. Itu yang ditiru pertamanan pohon Kelepu Dewa Daru.
b. Suara Gamelan yang
dipukul oleh para niaga itu meniru Gamelan
Lokananta dikhayangan.
c. Wanita menari
sambil Sesindenan atau menyanyi menurutkan Irama Gamelan, itu yang ditiru
tarian Waranggana mengelu-elukan datangnya para dewa.
d. Pria yang
menanggapi tarian Waranggana, yang diikuti oleh yang lain-lain yang kemudian
dinamai Tayuban, itu yang ditiru adalah gerak kedatangan para Dewa.
e. Tata cara demikian
itu oleh islam, terang sekali hukumnya: Musyrik yang berarti
menduakan Tuhan dan Haram yang artinya dilarang untuk
dikerjakan. Oleh karena itu sedikit demi sedikit harus di usahakan untuk
dihilangkan. Walaupun begitu, usahanya harus disertai kebijaksanaan sehingga
dapat membuka hati rakyat banyak.
Tata cara yang ada hubungannya dengan kepercayaan agama
tadi (Semadi, sesaji, keramaian), apabila justru di gunakan alat penerangan
dengan cara yang bijaksana, artinya kekeliruan itu di luruskan dengan
perlahan-lahan, maka rakyat lekas sekali bisa mengikuti ajaran islam yang
benar, misalnya upacara memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Surakarta dan
Yogyakarta dengan keramaian sekaten, grebeg maulud, grebeg besar dan grebeg
syawal.
Sunan Kalijaga
adalah seorang Dalang Wayang Purwa. Ia terkenal sebagai dalang wayang kulit
yang sangat menarik. Bila Sunan Kalijaga pentas di suatu Desa, penonton
berjubel-jubel memadati halaman. Pentas wayang Sunan Kalijaga adalah dalam
rangka mendakwahkan Islam. Ia tidak pernah menarik bayaran materi. Sebagai
bayarannya ia mengajak kepada seluruh hadirin untuk bersyahadat mengucapkan
sumpah pengakuaan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mengakui bahwa nabi
Muhammad adalah utusan Allah. Sunan Kalijaga mengajak kepada seluruh masyarakat
untuk mengurangi perbutan Syirik dan setia kepada ajaran islam. Lewat sarana
itulah Sunan kalijaga berhasil merata islam di seluruh bumi Jawa. Dalam media
dakwah yang lain juga tampak sikap Sunan Kalijaga yang demikian itu, baik dalam
penciptaan, seni pakaian, seni suara, seni ukir, seni gamelan , termasuk juga
kesenian wayang. Bahkan terhadap kesenian wayang ini Sunan Kalijaga dipandang
sebagai tokoh yang telah menghasilkan kreasi baru, yaitu dengan adanya wayang
kulit dengan segala perangkan gamelannya.
Sunan
Kalijaga mengarang lakon-lakon wayang dan menyelenggarakan
pergelaran-pergelaran wayang dengan upah baginya sebagai dalang berupa jimat
kalimasada atau ucapan kalimat Syahadat. Beliau mau memainkan lakon wayang yang
biasanya untuk meramaikan suatu pesta peringatan-peringatan, asal yang
memanggil itu mau bersyahadat sebagai kesaksian bahwa ia rela masuk islam.
Masyarakat
kita bangsa Indonesia, khususnya Jawa masih gemar sekali hal wayang itu, mulai
dari dahulu hingga sekarang baik di desa maupun di kota. Oleh karena itu wali
Sanga memperhatika tersebut untuk keperluan memasukkan dakwah islamiyah. Ketika
mendalang itulah Sunan kalijaga menyisipkan ajaran-ajaran islam. Lakon yang di
mainkan tidak lagi bersumber dari kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga
mengangkat kisah-kisah karangan, dengan wayang Sunan Kalijaga menyajikan
kata-kata mutiara yang bukan saja untuk persembahyangan, meditasi, pendidikan,
pngetahuan, hiburan, tetapi juga menyediakan pantasi untuk nyanyian, lukisan
estetis dan menyajikan iajinasi puitis untuk petua-petua religius yang mampu
mempesona dan menggetarkan jiwa manusia yang mendengarkannya. Wayang cermin
bagi kehidupan manusia, perwatakan manusia yng berbeda-beda digambarkan oleh
wayang baik yang sedang di jejer, disamping maupun dikothak.
Wayang
itu sebagai media dakwah yang senantiasa dipergunakan oleh Sunan Kalijaga dalam
kesempatan dakwahnya di berbagai daerah, dan ternyata wayang ini merupakan
media yag epektif dapat mendekatkan dan menarik simpati
rakyat terhadap agama. Kemampuan Sunan Kalijaga dalam mendalang
(memainkan wayang) begitu memikat, sehingga terkenallah berbagai nama samaran
baginya di berbagai daearah. Jika beliau mendalang di daerah Pajajaran dikenal
dengan nama Ki Dalang Sidabrangti, bila beliau mendalng di Tegal dikenal dengan
nama Ki Dalang Bengkok, dan bila beliau mendalang didaerah Purbalingga terkenal
dengan nama Ki Dalang Kumendung.
Pembuatan
wayang dari kulit kerbau, dimulai oleh Sunan Kalijaga pada jaman Raden Patah,
yang bertahta di Demak. Sebelumnya lukisan wayang yang menyerupai bentuk
manusia sebagaimana yang terdapat pada relief candi panataran di daerah Blitar.
Lukisan yang mirip manusia oleh sebagian ulama dinilai bertentangan dengan
Syara. Para wali, terutama Sunan kalijaga, kemudian menyiasatinya dengan
mengubah dari lukisan yang menghadap menjadi miring. Dahulu memakai pahatan
pada bagian mata, telinga, perhiasan dan lain-lainnya wayang hanya digambar
saja. Dengan mengubah bentuk dan lukisan wayang berbeda dengan bentuk manusia
sesungguhnya, akan tidak ada alasan lagi untuk menuduh bahwa wujud wayang
melanggar hukum fiqih Islam. Selain itu atas saran para Wali Sunan Kalijaga
juga membuat tokoh semar, petruk, gareng dan bagong sebagai tokoh panakawan
yang lucu. Kadangkala, ia menggunakan tokoh bancak dan doyok.[9]
C. Sikap Masyarakat
terhadap Dakwah Sunan Kalijaga
Salah satu Wali yang terkenal bagi orang Jawa adalah
Sunan Kalijaga. Ketenaran Wali ini adalah karena ia adalah seorang Ulama yang
sakti dan cerdas. Ia juga seorang Politikus yang mengasuh para raja beberapa
kerajaan Islam. Selain itu Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai Budayawan yang
santun dan Seniman Wayang yang hebat.
Sikap
masyarakat terhadap Sunan Kalijaga ialah sangat baik dan sedikit demi sedikit
mau menerima Ajaran Agama Islam, karena Sunan Kalijaga dalam Menyebarkan ajaran
Agama Islam benar-benar memahami dan mengetahui keadaan Rakyat yang masih
Kental terpengaruh kepercayaan Agama Hindu-Budha itu maka bertindaklah beliau
sesuai dengan keadaan itu, sehingga taktik dan strategi dakwah perjuangan
mengislamisasikan Nusantara itu disesuaikan pula dengan keadaan ruang dan
waktu.
Sunan Kalijaga
dikenal sebagai Ulama besar dan seorang Wali yang memiliki kharisma tersendiri
diantara Wali-wali lainnya dan paling terkenal dikalangan atas maupun
dikalangan bawah, hal ini disebabkan karena Sunan Kalijaga berkeliling dalam
berdakwah, sehingga beliau dikenal sebagai Syekh Malaya, yaitu Mubaligh yang
menyiarkan Agama Islam sambil mengembara.
Caranya
berdakwah sangat luwes, rakyat Jawa yang pada waktu itu masih banyak
kepercayaan lama tidak ditentang Adat istiadatnya, beliau mendekati
rakyat yang masih Awam itu dengan cara halus, bahkan dalam berpakaian beliau
tidak memakai Jubah sehingga masyarakat tidak merasa angker dan mau menerima
dengan senang hati. Diantara anggota dewan Wali, Sunan Kalijaga merupakan Wali
yang paling populer dimata masyarakat Jawa bahkan sebagian masyarakat Jawa
menganggap sebagai Guru Agung danSuci di Tanah
Jawa. [10]
BAB IV
PETA KEBERHASILAN SUNAN KALIJAGA
A. Bagi Islam
Sunan Kalijaga dikenal sebagai Ulama besar dan seorang
Wali yang memiliki kharisma tersendiri diantara Wali-wali lainnya dan paling
terkenal dikalangan atas maupun dikalangan bawah, hal ini disebabkan karena
Sunan Kalijaga berkeliling dalam berdakwah, sehingga beliau dikenal sebagai
Syekh Malaya, yaitu Mubaligh yang menyiarkan Agama Islam sambil mengembara.
Walaupun Sunan
Kalijaga sudah dinyatakan lulus dari ujian, dan beliau sudah dinyatakan sebagai
Wali atau bernama Sunan Kalijaga tetapi menurut perasaan hatinya beliau belum
merasa puas atas derajat yang dicapainya itu. Beliau ingin agar tingkat
kewaliannya sederajat dengan para Wali yang lain. Maka sambil mencari ilmu
lahir batin beliau mendapat tugas baru lagi dari Sunan Bonang sebagai Ujian
yang kedua.
Sambil memenuhi
syarat yang ditentukan Sunan Bonang, Sunan Kalijaga berkelana kedaerah-daerah
sebagai Mubaligh keliling menyiarkan Agama Islam. Tempat yang dituju ialah arah
Barat, yaitu daerah Pesisir Utara Jawa, seperti: Juwana, Pati, Jepara, Pandang
Arang (Semarang), Kendal, Pekalongan, Tegal sampai Cirebon. Dan atas tempat itu
semua Sunan Kalijaga mendapat nama baru lagi yaitu Syekh Malaya yang artinya
penuntun Agama yang dakwah dengan keliling.
Sewaktu
hidupnya beliau berdakwah keliling dan terkenal sebagai seorang Wali yang ahli
dalam bidang Dakwah dan pemerintahan, tidak heran kalau Sunan Kalijaga berhasil
dalam media Dakwah dan pemerintahannya, dengan bukti beliau turut mendirikan
Kerajaan Demak dengan Raden Patah yang dinobatkan sebagai Dakwahnya.
Sebagai Da’i
beliau berdakwah disekitar kota Demak kemampuannya untuk beradaptasi dengan
lingkungan serta kepandaiannya memanfaatkan unsur-unsur lama sebagai Media
dakwah sangat menguntungkan dalam tugasnya menyebarkan dan mengembangkan ajaran
Agama Islam karena itu beliau dikenal sebagi Ahli Dakwah yang Ulung. Adapun
daerah pusat keberhasilan Dakwahnya adalah daerah pantai Utara Jawa Tengah
yaitu Gelagah Wangi Demak.
B. Hasil Islamisasi
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga dalam berdakwah sangat luwes, dimana
Rakyat Jawa yang pada waktu itu masih banyak menganut kepercayaan lama tidak
ditentang Adat-istiadatnya. Sebagai Da’i beliau berdakwah disekitar kota Demak
kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan serta kepandaiannya
memanfaatkan unsur-unsur lama sebagai Media dakwah sangat menguntungkan dalam
tugasnya menyebarkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam karena itu beliau
dikenal sebagi Ahli Dakwah yang Ulung.
Sistem Dakwah
yang digunakan oleh Sunan Kalijaga telah berhasil merintis jalannya Dakwah
dipulau Jawa, sehingga beliau berhasil mengembangkan ajaran Islam dan
memperoleh Umat yang paling banyak khususnya di Pulau Jawa dibandingkan
Wali-wali yang lain.[11]
BAB V
PENUTUP
Dari uraian
diatas maka dapat disimpulakan bahwasannya Sunan Kalijaga adalah gelar yang
diberikan kepada Raden Mas Syahid, beliau putra dari Tumenggung Wilatikta,
Bupati Tuban. Tumenggung Wilatikta adalah keturunan Ranggalawe yang sudah
beragama Islam dan berganti nama Raden Sahur. Ibunya bernama Dewi Nawangrum dan
Raden Sahid ini menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak dan berputra tiga
orang yaitu: Raden Umar Said atau Sunan Muria, Dewi Rukoyah dan Dewi Sofiah.
Beliau lahir dari kalangan keluarga bangsawan asli di Istana Tumenggung Ario
Tejo alias Adipati Wilwatikto di Tuban, ia di didik dalam bidang pemerintahan
dan kemiliteran, khususnya di bidang Angkatan laut, ia juga ahli dibidang
pembutan kapal laut yang dibuat dari kayu jati, yang nama mudanya atau nama
kecil adalah Raden Mas Syahid atau Jaka Said.
Keberhasilan
Sunan Kalijaga dalam menyebarkan ajaran Agama Islam tidak bisa terlepas dari
kemampuannya dalam menggunakan Metode Dakwahnya. Cara penyampaian Agama Islam
dalam usaha menyebarluaskan Ajaran Agama Islam yang benar tanpa mengubah secara
spontanitas ajaran yang dianut masyarakat setempat ataupun yang masih berpegang
teguh pada ajaran Hindu-Budha memerlukan jangka waktu yang begitu panjang dan
sangat rumit.
Dari sekian
perjalanan hidupnya dalam rangka mengembangkan Ajaran Agama Islam yang menuju
pada kemurnian islam, dalam Dakwahnya beliau selalu memperhatikan situasi dan
kondisi masyarakatnya. Sehingga beliaulah yang merupakan salah satu diantara
sekian banyak Wali yang berhasil dalam menciptakan Kader ataupun masyarakat
Muslim dan beliaulah yang mempunyai pengikut yang paling banyak karena
keluwesannya dalam penyampaian Dakwah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Purwadi, M.Hum. dkk. 2007, Dakwah Wali Sanga ( Penyebaran
Islam Barbasis kultural ditanah Jawa), Yogyakarta : Panji
Pustaka.
Siti Joya Fatmi Gunaevy, 2004. Babad Tanah Jawi ( Mitologi,
legenda, folklor, dan Kisah Raja-raja
Jawa), Jakarta : Amanah Lontar.
Slamet Muljana, 2005, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya
Negara Islam di Nusantara, Yogyakarta : LKIS.
Sofwan Ridin, 2000, Islamisasi di Jawa : Walisanga,
penyebar Islam di Jawa, menurut
penuturan Babad. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Umar Hisyam,1974, Sunan Kalijaga, Menara Kudus.
www. Wikipedia. Sunan Kalijaga. Com
[2] Sofwan Ridin, Islamisasi di Jawa : Walisanga, penyebar Islam di Jawa,
menurut penuturan Babad. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2000. Hal 83-84.
[3] Dr.Purwadi, M.Hum. dkk. Dakwah Wali Sanga
( Penyebaran Islam Barbasis kultural ditanah Jawa), Yogyakarta : Panji Pustaka. 2007. Hal 213-215.
[5] Siti joya Fatmi Gunaevy, Babad Tanah Jawi ( Mitologi,
legenda, folklor, dan Kisah Raja-raja Jawa), Jakarta : Amanah Lontar, 2004, Hal 57-59.
[6] Dr.Purwadi, M.Hum. dkk. Dakwah Wali Sanga
( Penyebaran Islam Barbasis kultural ditanah Jawa), Yogyakarta : Panji
Pustaka. 2007. Hal 218.
[7] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan
Timbulnya Negara Isla di Nusantara, Yogyakarta : LKIS. 2005
[9] Dr.Purwadi, M.Hum. dkk. Dakwah Wali Sanga
( Penyebaran Isla Barbasis kultural ditanah Jawa), Yogyakarta : Panji
Pustaka. 2007. Hal 253-257.
[10] Dr.Purwadi, M.Hum. dkk. Dakwah Wali Sanga
( Penyebaran Isla Barbasis kultural ditanah Jawa), Yogyakarta : Panji
Pustaka. 2007. Hal 213.
Sebelumnya: MUSEUM RONGGOWARSITO
Selanjutnya : ORGANISASI ASIA SELATAN DAN KONSTELASI POLITIK SERTA EKONOMI DALAM TATANAN GLOBAL
Selanjutnya : ORGANISASI ASIA SELATAN DAN KONSTELASI POLITIK SERTA EKONOMI DALAM TATANAN GLOBAL